PENTING!!!!

artikel-artikel yang diletakkan disini merupakan artikel yang dikumpul untuk rujukan bersama...

Thursday, November 4, 2010

WATAK YAHUDI

Tingkah laku yang disukai oleh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya ialah mengubah makna maupun tujuan dari
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits dengan selera serta kepentingan mereka. Seperti watak yang dimiliki kaum Yahudi,
yaitu yuharriful alkalimah an-mawadi’ih, maka begitulah sikap dan kelakuan kaum Ahmadiyah ini.

Dalam suatu penjelasan atas sebuah hadits yang menerangkan tentang kesudahan Nabi pada Nabi Muhammad, Ahmadiyah menyatakan pendiriannya yang menarik. Lebih dahulu kita ketahui isi hadits tersebut, yaitu:

“Misal aku dengan Nabi-nabi yang sebelum aku seperti seorang laki-laki yang telah mendirikan sebuah gedung
yang indah tetapi ketinggalan satu bata dan mereka bertanya mengapa tidak engkau pasang sebata yang ketinggalan itu. Akulah bata itu dan aku juga kesudahan Nabi-nabi.”1

Apabila Hadits tersebut dipakai oleh ulama-ulama dengan mengkiaskan satu bata itu untuk menyatakan kenabian Muhammad sebagai Nabi terakhir, maka menurut Ahmadiyah, itu adalah satu penghinaan atas diri beliau. Adakah beliau hanya seperti batu bata saja bagi sebuah gedung yang indah bentuknya itu? Jika dimisalkan dengan tiang mungkin juga diterima, tapi jika Nabi s.a.w. cuma sekedar batu bata saja, sangat keterlaluan, padahal Nabi Muhammad s.a.w. lebih dari Nabi-nabi yang lain bahkan dari Malaikat-malaikat sekalipun.2

Akhirnya karena itu satu penghinaan pada Nabi Muhammad, maka Ahmadiyah mengajukan satu pembelaan juga. Adapun yang dimaksud dengan satu bata itu, kata Ahmadiyah, ialah syari’at atau Agama. Syari’at yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi yang dahulu merupakan satu gedung yang masih kurang (satu bata, bukan? pen.) maka dengan kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. sempurnalah gedung itu.3

Yang menarik dari penjelasan Ahmadiyah di atas ialah bahwa satu bata itu jika dimisalkan Nabi Muhammad adalah satu penghinaan. Yang benar, kata Ahmadiyah, bahwa satu bata itu adalah syari’at atau Agama, yakni Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Coba bayangkan bahwa gedung yang indah itu diibaratkan syari’at-syari’at Nabi-nabi yang sebelum Nabi Muhammad. Kemudian karena masih ketinggalan satu bata yaitu masih ada satu lobang bata pada gedung yang indah itu. Maka syari’at Nabi Muhammadlah pengisi lobang sebata itu. Apakah ini bukan penghinaan juga?!

Ataukah ada pengertian lain dari Ahmadiyah, bahwa setiap batu-bata pada bangunan yang indah itu adalah syariat atau agama nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Hal ini perlu kiranya minta bantuan Ahmadiyah untuk menaksir berapa jumlah batu bata yang terdapat pada gedung yang indah itu? Jelasnya berapa puluh ribu syariat atau agama sebelum syariat/agama Islam datang? Apa yang dikatakan Ahmadiyah itu adalah nonsense, omong-kosong. Itu tidak lain satu penghinaan atas diri Nabi dan atas syariat yang dibawa beliau.

Selanjutnya Ahmadiyah mengataKan bahwa hadits tersebut adalah dha’if atau lemah dan para perawi dalam hadits itu
tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan.4 Pada akhirnya Ahmadiyah mengatakan bahwa dalam hadits itu ada satu
keganjilan yang perlu dipikirkan disini. Kalau hadits itu shahih dan Nabi kita s.a.w. sudah menyempurnakan gedung
indah dengan penutup lobang yang tadinya terbuka dengan kedatangan beliau. Dalam gedung yang sudah demikian itu Nabi Isa a.s. akan menjadi sebagai apanya? Kita berdasarkan Qur’an dan Hadits masih menunggu kedatangan Nabi, dalam hadits dikatakan nabi Isa akan datang.5 Terakhir Ahmadiyah bertanya:

“Kalau kita ibaratkan Nabi Isa sebagai batu-bata pula dalam rangka susunan Nabi-nabi, maka dimana batu-bata ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu?”6

Sekali lagi ulasan Ahmadiyah di atas menarik untuk dibahas. Untuk menjawab pertanyaan: dimana batu-bata Nabi Isa akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu? Ahmadiyah telah menjawab pertanyaan ini, akan tetapi dua jawaban, dari mereka satu sama lain sudah tidak sama. Yang pertama Ahmadiyah menjawab: “Hendaknya dikatakan, masih tinggal dua batu bata lagi yaitu batu-bata nabi Muhammad s.a.w. dan batu-bata nabi Isa a.s. yang akan turun di akhir zaman.7 Jawaban mereka yang pertama ini jelas mengandung satu penghinaan pada nabi Muhammad. Beliau s.a.w. diibaratkan satu bata saja dan beliau disejajarkan dengan satu bata lainnya yakni batanya nabi Isa a.s. akhir zaman yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Kemudian pada jawaban yang kedua, Ahmadiyah berkata: “Itulah sebabnya untuk menyempurnakan syariat-syariat para nabi terdahulu itu datanglah nabi Muhammad membawa syariat Al-Qur’an yang sempurna. Yang sempurna itu tak memerlukan lagi perubahan apapun dalam gedung indah itu. Tetapi untuk merawat, mengapur, membersihkan dan menjaga gedung itu diperlukan seorang petugas, dan untuk memelihara kebun dan halamannya diperlukan tukang kebun yang diberi tugas oleh Tuhan.”8

Disini pada jawaban yang kedua, gedung indah itu sudah tidak ada lobangnya lagi sebab sudah terisi dengan Nabi Muhammad. Jadi yang ditanyakan oleh Ahmadiyah, dimana batu bata ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya lagi? Telah dijawab sendiri oleh mereka, sedang Nabi Isa ituhanya tukang kapur, tukang sapu, tukang kebun dan tukang rawat atas gedung indah itu. Apa tidak kurang kalau hanya seorang tukang yang merangkap segala pekerJaan atas gedung yang indah itu? Salah-salah Tukang itu (Mirza Ghulam Ahmad) bisa kelabakan, letih dan sakit-sakitan, bukan begitu? Memang ternyata demikian keadaan si tukang Mirza Ghulam itu.
Ia sakit-sakitan saja dan kelak kita akan mengetahui betapa hebatnya sakitnya dan betapa pula effeknya terhadap tugasnya itu.

Dengan jawaban yang pertama yaitu bahwa seharusnya ada dua batu-bata pada gedung indah itu, dan pada jawaban yang kedua, bahwa sudah tidak ada lobang untuk pengisian satu bata iagi, sehingga Nabi Isa (Mirza Ghulam) bukan lagi satu batu-bata melainkan hanya tukang kebun dan lain-lain itu, di sinilah Ahmadiyah berbeda jawab satu dengan yang lainnya.

Lebih menarik lagi kalau kita terus memperhatikan ulasan Ahmadiyah atas hadits tersebut di atas. Sebagaimana tersebut Ahmadiyah menyatakan bahwa hadits itu adalah dha’if dan dengan sendirinya tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan.9 Kalau sudah dinyatakan dha’if buat apa dipakai dan diperpanjang uraiannya bertele-tele?! Dha’if ya sudah, tidak perlu lagi. Akan tetapi rupa-rupanya tidak demikian yang diniatkan oleh Ahmadiyah. Sebab hadits itu masih dipakainya dan kemungkinan untuk terlaksananya satu pengisian batu-bata pada lobangnya masih diharapkan dan dipastikan ada.

Untuk ini lebih tepat kalau kita mendengar langsung ucapan yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Ia berkata tentang hadits itu

“Adalah golongan Nabi-nabi yang diibaratkan satu gedung itu kekurangan satu batu-bata, maka Allah akan cukupkan dan sempurnakan gedung itu dengan satu bata yang akhir. Maka akulah bata yang terakhir itu, hai orang yang melihat!”10

Catatan kaki:
1 lih: A. Nuruddin, arti hakiki dari ayat
katamannabiyin, hal. 44
2 idem.
3 idem.
4 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
5 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
6 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
7 lih: A. Nuruddin , khataman nabiyin , hal. 45.
8 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
9 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
10 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. 32:
(fa kaana khaliyan maudi’u labinatin, au’nil mun-amaq
alaihi min hadzihil imarah, fa aradha Allahu an
yutimma-nabaa’ wa yukmila-al-binaa bil labinati -
akhirah, fa-ana tilkal-labinatu ayyuhan – nadhiruun.)



daripada:- ariefhikmah

No comments:

Post a Comment



My Fav. Site

Sabda Rasullullah saw :

Sampaikanlah pesanku biarpun sepotong ayat..